Acaciapat.com - Belakangan ini, viral di media sosial netizen atau warganet mengklaim merek GoTo, perusahaan hasil merger dua raksasa teknologi Gojek dan Tokopedia. Hal ini terjadi karena rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia akan pentingnya pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam membangun bisnis.
Belum lama ini viral di media sosial ketika netizen ramai-ramai membuat akun instagram GoTo Financial setelah Gojek dan Tokopedia melakukan merger. Secara bersamaan, netizen membuat akun untuk mengamankan nama tersebut dan akan menjualnya hingga puluhan juta apabila GoTo Financial hendak menggunakan nama tersebut. Kasus ini tentu dapat diatasi dengan mudah dan GoTo tidak perlu membayar nama tersebut apabila GoTo telah mendaftarkan dan memperoleh HAKI atas GoTo Financial. CEO Kontrak Hukum Rieke Caroline mengatakan, rendahnya pemahaman dan minimnya edukasi mengenai HAKI bagi masyarakat tetap menjadi masalah utama yang menyebabkan masyarakat skeptis dan enggan melakukan pendaftaran HAKI. Padahal, legalitas dapat membuat bisnis lebih berkembang dan terhindar dari sengketa yang merugikan. “Perlu diingat, Indonesia sama seperti negara lain di dunia, menganut prinsip first to file sehingga pelaku usaha harus segera mendaftarkan merek yang dipergunakannya agar menjadi identitas usaha tersebut. Sayangnya, belum banyak orang yang paham akan hal ini dan berakhir memiliki sengketa dengan pihak lain,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (23/6/2021).
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM Freddy Haris menyebutkan, hanya ada sekitar 70.000 pelaku UMKM yang mendaftarkan mereknya dari lebih dari 65 juta pelaku usaha pada tahun 2019 sampai 2021.
Angka tersebut terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti Tiongkok yang dapat menerima permohonan pendaftaran desain industri mencapai 500.000 orang setiap tahunnya. Padahal, pemerintah melalu Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sudah menyediakan berbagai fasilitas online dari mulai contact center DJKI, fitur live chat di website DJKI, e-tutorial HKI, e-status HKI, dan sistem lainnya untuk mempermudah pendaftaran HKI. DJKI bahkan meluncurkan Loket Virtual (LokVit-2020) ketika loket pelayanan terpadu harus ditutup akibat penerapan physical distancing.
Data dari Laporan Tahunan DJKI menunjukan bahwa sepanjang tahun 2019 setidaknya terdapat 47 aduan pelanggaran kekayaan intelektual yang diterima oleh DJKI. Jumlah aduan yang masuk terdiri dari pelanggaran merek (34 aduan), disusul aduan pelanggaran hak cipta (tujuh aduan), paten (dua aduan), dan desain industri (empat aduan). Angka tersebut naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 36 aduan.
Dikutip dari website Direktori Putusan Mahkamah Agung selama 2020 kasus sengketa merek yang di-register ke pengadilan mencapai 126.675 kasus. Jumlah tersebut menandakan bahwa pelanggaran dan sengketa HAKI di Indonesia memiliki angka yang tinggi.
”Berdasarkan hal tersebut, HAKI telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari hari. Namun, seringkali masyarakat merasa bahwa masalah perlindungan HAKI dapat diurus belakangan setelah ciptaan atau usaha yang dijalankan telah sukses atau menjadi terkenal. Prinsip tersebut tidak tepat karena berpotensi mengakibatkan nama, logo, atau produk yang kita miliki ditiru oleh orang lain dan menyebabkan bisnis kita kehilangan identitasnya,” kata Rieke.
Salah satu bentuk untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya legalitas adalah dengan hadirnya Kontrak Hukum dengan tujuan mengembangkan bisnis di Indonesia.
Sumber: Beritasatu.com