Acaciapat.com - Indonesia masih memiliki masalah dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Padahal dunia baru-baru ini, tepatnya pada 26 April lalu baru memperingati hari HAKI.
Masalah HAKI yang dihadapi Indonesia tidak bisa dianggap remeh, karena ini turut berdampak ke sektor bisnis yang otomatis juga berpengaruh terhadap perekonomian bangsa. Salah satu bentuk permasalahan HAKI adalah penjiplakan karya, seperti yang kerap dihadapi pebisnis pariwisata Bali, Pabrik Kata-Kata Joger."Memang tantangan yang selalu kami hadapi adalah praktik yang dilakukan penjiplak produk kami. Bahkan sudah bukan rahasia produk jiplakan Joger dijual di pusat oleh-oleh besar di Bali, yang bisa dikatakan adalah tetangga kami sendiri," kata Armand, dalam keterangan tertulis, Jumat (29/4/2022).
Berbagai upaya dilakukan manajemen Joger terhadap praktik-praktik penjiplakan. Mulai dari persuasi menghimbau pihak dan pedagang jiplakan kaus Joger, hingga melakukan sosialisasi ke masyarakat bahwa produk Joger hanya dijual di toko milik mereka, yakni di Pabrik Kata-Kata Joger di kawasan Kuta, Badung, dan di Teman Joger Luwus yang berada di kawasan Bedugul, Tabanan.
"Tapi permasalahannya bukan hanya di pedagang-pedagang kecil ini yang hanya berusaha untuk menjual produk yang laris. Tapi justru mereka yang memproduksi barang jiplakan Joger ini kan pengusaha-pengusaha besar," sebut Armand.
Pria yang baru saja terpilih sebagai Ketua Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Forki) Bali ini menyatakan, Joger sebenarnya sudah kerap menyuarakan keresahan soal HAKI kepada pihak Ditjen Kekayaan Intelektual, Pemda maupun pihak berwenang lainnya. Namun, kata Armand, hingga kini belum ada tindakan nyata untuk memberantas penjiplakan karya cipta milik Joger.
"Dan belum ada kesadaran dari kebanyakan para pelaku usaha pariwisata di Bali untuk menghargai HAKI. Sementara perekonomian Bali ditopang dari sektor-sektor pariwisata, termasuk sektor perbelanjaan oleh-oleh," tuturnya.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyebut kekayaan intelektual adalah nadi bagi setiap pelaku industri kreatif. Oleh karenanya, para pelaku industri selalu diimbau untuk melakukan perlindungan terhadap kekayaan intelektual. Meski begitu, kemajuan ekonomi kreatif Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang pelanggaran HAKI.
Banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAKI, termasuk penjiplakan karya, masih menjadi momok di Indonesia. Bahkan di 2021, Indonesia kembali masuk Priority Watch List atau daftar negara yang dinilai Amerika Serikat (AS) memiliki pelanggaran HAKI cukup berat. Penegakan hukum atas pelanggaran HAKI di Indonesia dinilai AS masih lemah dan tidak tegas.
Berdasarkan keterangan Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Indonesia sudah masuk di dalam daftar Priority Watch List (PWL) United States Trade Representative (USTR) selama 33 tahun.
Tentunya hal ini dapat menghambat kemajuan dari bangsa Indonesia, termasuk dalam dunia pariwisata dan ekonomi kreatif. Padahal, Indonesia saat ini sedang menggencarkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang pastinya berpengaruh terhadap dunia pariwisata, khususnya di Bali sebagai salah satu surga wisata dunia.
"Maka kami harapkan komitmen dari pemerintah terhadap praktik pelanggaran HAKI. Ini menyangkut pariwisata kita, mau dibawa kemana? Apa Indonesia mau terkenal dengan pariwisata jiplakan?" sebut Armand.
Armand berharap, peringatan Hari HAKI Sedunia kali ini bisa kembali mengingatkan permasalahan pelanggaran HAKI yang tak ada habisnya di Indonesia. Sebab pada akhirnya, konsumen-lah yang akan dirugikan jika masalah ini terus berlanjut.
"Kan lucunya, kita ikut bayar pajak tapi tidak mendapat perlindungan. Apakah mereka yang menjiplak ini bayar pajak? Kenapa sulit sekali ditindak," ungkap putra pendiri Joger ini.
Soal HAKI, Kemenparekraf juga menyatakan karya-karya kekayaan intelektual lahir dari dari kemampuan intelektual manusia melalui curahan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa. Karya-karya ini wajib dilindungi karena memiliki nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan manusia.
Indonesia sudah memiliki beberapa payung hukum perlindungan terhadap HAKI, termasuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek.
Pabrik Kata-Kata Joger sudah memiliki sertifikat merek sejak tahun 1997 yang seharusnya mendapat perlindungan dari payung-payung hukum tersebut. Selain itu, Joger juga telah mendaftarkan beberapa desain, karya, dan produknya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Merek Joger pun sudah terdaftar di Singapura, China, dan Australia.
Sebagai merek dengan produk dengan daya kreativitas tinggi, Joger tentunya menjunjung tinggi urusan HAKI. Kaus kata-kata Joger yang murni atas daya kreatif sang pendiri Joger, Joseph Theodorus Wulianadi atau Mr Joger, sangat terkenal di dunia pariwisata nasional dan mancanegara.
Menurut Mr Joger, pihaknya pada tahun 1999 pernah memperkarakan masalah penjiplakan kaus Joger. Berawal dari berbagai persuasi yang dilakukan kepada para pedagang oleh-oleh di Bali, namun tak didengarkan.
"Kita bagi-bagi bunga menghimbau supaya jangan menjual barang jiplakan Joger," kisah Mr Joger. Setelah beberapa kali melakukan persuasi, manajemen Joger akhirnya memperkarakan beberapa pedagang yang masih menjual kaus tiruan Joger.
"Karena sudah keterlaluan. Beberapa kali sudah diingatkan dengan baik, tapi karena sudah kelewatan, ya, sudah kita masukkan ke meja hijau," ucap pria yang mulai merintis usaha pabrik kata-kata sejak tahun 1981 tersebut.
Beberapa kasus berakhir damai, namun sebagian diteruskan hingga inkrah di pengadilan. Berdasarkan penelusuran, mereka yang memproduksi produk jiplakan Joger kebanyakan adalah orang-orang dengan status ekonomi dan sosial tinggi di Bali.
Bagi Mr Joger, perlindungan karya merupakan hal penting. Sebab ia memulai usahanya dari nol sejak tahun 1980-an. Dimulai ketika ia menjadi guide untuk turis asing di Bali, khususnya warga negara Jerman.
"Selama menjadi guide saya melihat celah-celah atau hal-hal yang kurang bagus di dunia art shop dalam pariwisata di Bali. Hanya menghormati turis-turis asing yang bawa dollar atau devisa. Seharusnya kan kita lebih menghormati turis lokal," cerita Mr Joger.