Konsultan Komersialisasi Kekayaan Intelektual yang juga mantan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kemkumham, Andy N Sommeng mengatakan, UU tersebut secara tegas menyebutkan, bahwa suatu permohonan pendaftaran merek akan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, atau merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu. Andy menjelaskan, berdasarkan Permenkumham Nomor 67/2016, kriteria merek terkenal itu antara lain dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan,volume penjualan barang dan atau jasa, pangsa pasar yang dikuasai, durasi penggunanan merek, pendaftaran merek di banyak negara serta keberhasilan penegakan hukum di bidang merek.
"Kriteria itu menjadi pegangan pemeriksa merek dan aparat penegak hukum dalam menentukan apakah merek itu merek terkenal atau tidak terkenal,” jelasnya.
Lebih lanjut, Andy menegaskan, alasan mengapa diperlukan perlindungan terhadap merek terkenal. Menurutnya, merek adalah asset intangible yang tidak ternilai harganya bagi suatu perusaahan. Merek merupakan cermin reputasi suatu barang yang diproduksi atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.
"Maka, reputasi atau citra sebuah merek akan mempengaruhi aktivitas pemasaran. Reputasi itu diyakini oleh pemilik merek terkenal akan mampu mempengaruhi persepsi pelanggan tentang produk yang ditawarkan kepada konsumen," tegasnya. Praktisi HKI, Suyud Margono, mengatakan, konsep perlindungan atas merek terkenal tidak seharusnya diterapkan untuk merek sekunder atau secondary brand. Merek sekunder ini biasanya dikenal juga sebagai nama varian (variant name) atau merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif.
Menurut Suyud yang juga sebagai Ketua Umum AKHKI (Asosiasi Konsultan HKI Indonesia), istilah deskriptif itu kadang hanya bertujuan untuk menjelaskan fungsi dari produk dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut, namun diajukan sebagai merek yang sesungguhnya merupakan extension dari brand yang sudah dikenal.
"Kalimat/istilah deskriptif mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan juga pelaku usaha,” imbuhnya. Dia menjelaskan, klaim merek terkenal atas secondary brand yang bersifat deskriptif atau generic words berpotensi negatif dan dapat menimbulkan dan persaingan curang (unfair business practices) antar sesama pelaku usaha. Sebab, pada praktiknya, pemilik merek lainnya akan terhambat dan kesulitan untuk memiliki ruang gerak dan kreatifitas apabila secondary brand yang bersifat deskriptif atau generic words.
"Karena itu hanya dapat digunakan oleh salah satu pihak saja, mengingat pelaku usaha biasanya menggunakan secondary brand hanya sebagai variasi tambahan dari produk-produk utamanya,” ujar Suyud.
Sumber: BeritaSatu.com